Sabtu, 30 April 2011

TINJAUAN PASAL 31 UU NO. 31/1999 Jo UU NO. 20/2001 (PENYIDIKAN DAN PEMERIKSAAN SIDANG DI PENGADILAN)


KATA PENGANTAR

              Puji syukur kekhadirat Allah SWT  yang telah memberikan rahmat nikmat serta hidayah-Nya semata, sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas mata kuliah Kejahatan Ekonomi dan Korupsi yang berjudul “Tinjauan Pasal 31 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 (Penyidikan dan Pemeriksaan Sidang di Pengadilan).
                  Penyajian materi dalam makalah ini diuraikan sedemikian rupa sehingga memungkinkan dapat dipergunakan oleh dosen maupun mahasiswa sebagai bahan bacaan untuk mata Kuliah Kejahatan Ekonomi Dan Korupsi,
                  Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalahini masih banyak kekuranganyang disebabkan karena  keterbatasan pengetahuan yang dimiliki oleh penulis, oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
                  Mudah-mudahan makalah ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan, baik bagi penulis, dosen, maupun mahasiswa yang mau membacanya.
                  Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih.

Kotabumi,   November 2010
Penulis


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.   Latar Belakang
Pembahasan tentang tindak pidana korupsi dalam makalah ini sesuai dengan kajian yuridis normatif Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. perilaku tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat  sehingga tindak pidana korupsi tidak lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa tapi telah menjadi kejahatan luar biasa, maka dari upaya penyidikan, pemeriksaan dan penuntutannya tidak lagi dengan cara yang biasa melainkan harus menggunakan cara-cara yang luar biasa.
Penegakan hokum dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi yang selama ini dilakukan secara konvensional terbukti mengalami banyak hambatan. Dalam Undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, tidak terdapat peraturan tentang usaha prevensi langsung tentang perbuatan korupsi. Penulis berpendapat bahwa peraturan pidana yang tercantum dalam Undang-undang tersebut hanya merupakan prevensi tidak langsung yaitu supaya orang-orang tidak atau takut melakukan perbuatan korupsi atau yang bersangkutan (terpidana) jera untuk mengulangi perbuatan korupsi dikemudian hari.
Suatu lukisan deskriptif menyatakan korupsi itu apa adanya. Korupsi dalam statistik kriminal atau perkara dapat dilihat di kejaksaan agung, di markas  besar Polisi RI dan di Biro Pusat Statistik, namun saying terbatas pada data mengenai perkara korupsi yang diputus oleh Pengadilan Negeri, pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Statistic di kepolisian hanya sampai pada perkara-perkara yang dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri, karena kejaksaan negeri tidak teratur memberi data kepolisian tentang penyelesaian suatu perkara sampai pada putusan penyidikan.
Ternyata dalam statistik  di biru pusat statistik yang sumbernya dari Markas Besar Kepolisian RI tidak ada pembahasan tentang korupsi, yang ada hanya tentang penyuapan, begitu pula perkara yang di deponir oleh kejaksaan dan yang ditolak oleh hakim untuk dituntut, tidak ada peraturan yang mewajibkan kepada jaksa untuk memberitahu kepolisian tentang perkara tersebut. Hanya dalam saling pengertian antara penegak hukum saja,  namun hal ini tidak terlaksana secara menyeluruh, ada kejaksaan negeri yang mengirim pemberitahuan tentang kelanjutan penyelesaian suatu perkara kepada kepolisian, ada pula yang tidak melakukannya.

1.2.   Permasalahan
            Khusus  yang dipermasalahkan ialah delik-delik yang termasuk korupsi  material dan keuangan serta jabatan dan bagaimana penerapannya dalam situasi konkrit berupa kasus-kasus penting yang langsung menyentuk kegiatan pembangunan masyarakat sejahtera.
         Dalam penyelesaian kasus-kasus secara konkrit seperti tercermin pada putusan pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan terutama yurisprudensi mahkamah  agung dapat dilihat sampai sejauh mana efektifitas UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 terutama dalam Pasal 31 Undang-undang tersebut. Apa upaya terhadap korupsi yang semakin meningkat dan bagaimana menempatkan Undang-undang tersebut sebagai sarana pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat adil, makmur dan sejahtera.
         Selain masalah di atas yang akan dibahas oleh penulis juga mengenai siapa saja yang terlibat dalam upaya penyidikan dan pemeriksaan sidang di pengadilan tersebut. Selain itu delik-delik apa saja yang termasuk masalah korupsi.
         Korupsi yang banyak terjadi tapi tidak terungkap (hidden crime) tidak dipermasalahkan, yang dipermasalahkan ialah korupsi yang telah muncul kepermukaan, kasus yang diajukan kepengadilan dan kasus-kasus yang diberitakan atau data dari laporan resmi.





BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
            UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, dan didalam  Pasal 31 Undang-undang tersebut berbicara tentang penyidikan dan pemeriksaan dalam sidang di pengadilan. Tindak pidana korupsi adalah suatu tindakan atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Korporasi ialah tindak pidana kejahatan yang dilakukan secara bersama-sama baik bersama teman, keluarga maupun orang lain.
            Berbicara soal penyidikan dan pemeriksaan, semuanya ini dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan. Namun tidak semua polisi ataupun jaksa dapat melakukan penyidikan karena ada jabatan atau pangkat-pangkat tertentu yang dapat dijadikan penyidik. Lain halnya dengan penyelidik, kalau penyelidik siapa saja bias menjadi penyelidik, baik penyidik, penyelidik, penyelidi dan penyelidikan, dapat dijelaskan sebagai berikut :
  • Penyidik adalah pejabat Polri atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan.
  • Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang untukmencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
  • Penyelidik adalah pejabat Polisi Negara RI yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk melakukan penyelidikan.
  • Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menemukan dapat atau tidakbya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
            Untuk melimpahkah perkara pidana kepengadilan yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang pemeriksaan ialah upaya untuk mencari bukti kebenaran agar bias diajukan ke pengadilan oleh polisi kepada jaksa dan diteruskan perkaranya ke pengadilan yand diperoleh dari keterangan terdakwa dan saksi-saksi.

2.2 Efektivitas UU No. 31 Tahun 1999 Jo No. 20 Tahun 2001 Pasal 31
            Dalam Pasal 31 Undang-undang tersebut menjelaskan tentang :
1)      Dalam penyidikan dan pemeriksaan sidang dipengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana korupsi dilarang menyebut nama atau alamat pelapor atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.
2)      Sebelum pemerikssaan dilakukan, larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberitahukan kepada saksi dan orang lain tersebut.
            Yang dimaksud dengan saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaabndi sidang pengadilan yang bersangkutan dengan tindak pidana korupsi yang ia dengar sendiri, ia lihat dan ia alami sendiri (Pasal 1 angka 26 KUHAP).
            Keterangan para saksi dapat dituangkan sebagai berikut :
  1. Saksi yang keterangannya oleh penyidik sudah dituangkan dalam berita acara pemerisaan saksi.
  2. Saksi yang keterangannya tidak atau belun dituangkan dalam berita acara pemeriksaan saksi, tatapi sudah dapat surat panggilan untuk diminta keterangannya disidang pengadilan.
  3. Saksi yang sudah diberikan keterangannya disidang pengadilan.

            Dari keterangan saksi tersebut yang sudah dimasukkan dalam berita acara pemeriksaan, ada yang sudah siap diajukan kepengadilan ada juga yang belum dikarenakan kurang lengkapnya BAP tersebut. Berita acara pemeriksaan terhadap saksi dan sudah cukup bukti selanjutnya diajukan ke pengadilan guna dibahas lebih lanjut untuk menghasilkan suatu ketetapan atau keputusan dari hakim yang berkaitan dengan tindak korupsi.
            Selanjutnya, yang dimaksud dengan “orang lain” dalam kasus pidana korupsi tersebut ialah orang yang tidak dijadikan sebagai saksi tetapi dapat memberikan keterangan guna penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan yang bersangkutan, meskipun terkadang keterangan yang diberikan tidak dia dengar, lihat dan alami sendiri.
            Keterangan yang berasal dari orang lain atau suatu masyarakat yang mau berpartisipasi dalam hal pengusutan tindak pidana korupsi sangat dibutuhkan bagi para penyidik baik Polri maupun kejaksaan, karena dengan adanya partisipasi dari stock holder atau masyarakat yang ada, diharapkan penyidikan dan pemeriksaan terhadap pelaku tindak pidana korupsi dapat diselesaikan secepat  mungkin sehingga dikemudian hari kita berharap korupsi dapat dikurangi. Jadi pada intinya, kerja sama antara stock holder atau masyarakat dengan pemerintah dalam segi bidang apapun sangat diharapkan guna terwujudnya pembangunan nasional, masyarakat adil, makmur dan sejahtera.

2.3 Hal-hal yang dilarang dilakukan oleh saksi
            Dalam Pasal 31 ayat 1 yang dilarang dilakukan oleh saksi atau orang lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi adalah terbatas pada :
  1. Menyebut nama atau alamat pelapor terjadinya tindak pidana korupsi, artinya kalau sampai terjadi saksi atau orang lain tersebut menyebutkan nama atau identitas si pelapor, di khawatirkan keselamatan dan keamanan si pelapor terancam oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Selain itu juga dikhawatirkan bukti-bukti dan keterangan-keterangan yang sudah ada dirusak atau disalah gunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan tersebut.
  2. Menyebut hal-hal yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor terjadinya tindak pidana korupsi. Artinya, seorang saksi atau orang lain dilarang menyebut hal-hal lain, misal menyebutkan suatu lokasi atau tempat bertemunya saksi dengan pelapor, berkomunikasi lewat handphone dan menyebut nama pihak ke 3.

            Dalam hal ini, larangan tersebut berlaku untuk saksi atau orang lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, baik didalam dan diluar penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan apabila pertanyaan tersebut berasal dari penyidik, penuntut umum atau hakim.
            Dari uraian di atas disebutkan pula istilah kata ”pelapor” yang dimaksud pelapor adalah orang yang memberi informasi kepada aparat penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan bukan pelapor sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 24 KUHAP, berbunyi :
Laporan ialah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yag berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana korupsi”.
            Oleh karena ruang lingkup dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 31 ayat 1 hanya dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, maka yang dimaksud dengan ”penegak hukum” dalam penjelasan pasal tersebut hanya terbatas pada penyidik, penuntut umum dan hakim. Ketiga lembaga tersebut baik penyidik, penuntut umum dan hakim adalah lembaga penegak hukum yang memiliki fungsi yang sama dalam hal melakukan penyidikan dan pemeriksaan sidang dipengadilan. Perbedaannya penyidik berasal dari kepolisian atau pegawai negeri sipil tertentu dan penuntut umum berasal dari jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Sedangkan hakim adalah pejabat peradilan yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.Mengadili ialah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak disidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yag diatur dalam undang-undang.

Sanksi Pidana terhadap Saksi yang Melanggar Ketentuan Pasal 31 UU No. 31 Tahun 1999
            Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 31 ayat 2 sifatnya adalah imperatif, artinya bagi saksi yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 31 ayat 1 atau melanggarnya, maka saksi dapat dikenakan sanksi karena adanya sanksi pidana terhadap saksi seperti yang terdapat dalam Pasal 24 UU No. 31 Tahun 1999, yang berbunyi :
”Saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah)”.
            Jika kita perjelas, ketentuan yang terdapat dalam pasal 24 tersebut menggunakan rumusan-rumusan saksi yang tidak memenuhi tetentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat 1 dapat dikenakan sanksi pidana, sehingga dapat diketahui bahwa dilarang menyebut nama alamat pelapor atau hal-hal lain yang memungkinkan dapat diketahuinya identitas pelapor hanya saksi yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana korupsi.
            Dengan demikian, yang dapat dijatuhi pidana karena tidak memenuhi larangan untuk menyebut nama atau alamat pelapor atau menyebut hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor adalah hanya ”saksi” yang bersangkutan dalam perkara pidana korupsi.

Azas-Azas yang Terkandung dalam UU No. 31 Tahun 1999
            Ada beberapa azas yang terdapat dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang berbeda dari undang-undang tindak pidana lainnya yaitu :
  1. Orang yang sengaja mencegah, menutupi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan dan pemeriksaan sidang di pengadilan dapat dipidana.
  2. Penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan lebih di dahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya.
  3. Penyidik, penuntut umum dan hakim berwenang meminta keterangan kepada pihak bank tentang keadaan keuangan pelaku tindak pidana korupsi.
  4. Peran serta masyarakat (stock holder) dapat membantu upaya pencegahan pemberantasan tindak pidana korupsi.
  5. Identitas pelapor dilindungi, sesuai dengan Pasal 31 undang-undang tersebut.

            Dalam hal azas-azas tersebut penulis tidak menyebutkan secara keseluruhan karena pokok pembahasan dalam makalah ini terbatas pada Pasal 31 UU No. 31 Tahun 1999 yaitu mengenai penyidikan dan pemeriksaan sidang dipengadilan.

Jalannya Penyidikan dan Pemeriksaan Sidang di Pengadilan
            Sebelum memiliki pemeriksaan atas terpidana kasus korupsi, maka penyidik wajib memberitahukan kepada terpidana tentang haknya untuk mendapat bantuan hukum atau dalam perkaranya harus di dampingi penasihat hukum yang dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan cara melihat dan mendengar langsung.
            Pelaku tindak pidana korupsi dalam memberikan keteragan kepada penyidik tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun juga, sesuai dengan tindak pidana yang dipersangkakan kepadanya kemudian penyidik mencatatnya dalam berita acara sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kata-kata dari keterangan terpidana,dan antara penyidik maupun terpidana menandatangani bukti/berkas berita acara pemeriksaan tersebut. Apabila pelaku pidana korupsi tidak mau menandatanganinya maka penyidik mencatat dalam berita acara dan dengan menyebut alasannya.

2.6.1 Pemeriksaan Terpidana Korupsi
         Pada tahap pemeriksaan inilah sering terjadi pemerasan pengakuan atau keterangan dari terpidana atau saksi padahal undang-undang telah melarangnya dengan ancaman pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun (Pasal 422 KUHP). Dalam semua tingkat pemeriksaan dan penyidikan disidang pengadilan, terpidana barhak mendapat bantuan hukum dari penasihat hukum.

2.6.2 Pemeriksaan Saksi dalam Pidana Korupsi
         Saksi yang diperiksa pada tingkat penyidikan memberikan keterangannya tanpa disumpah lebih dulu, kecuali atas saksi-saksi dilakukan secara sendiri-sendiri dan wajib memberikan keterangan yang sebenarnya, saksi juga dapat dipertemukan yang satu dengan yang lainnya, juga dapat dipertemukan dengan terpidana apabila keterangan saksi tersebut menguntungkan baginya.

Penghentian Penyidikan dan Pemeriksaan Sidang di Pengadilan
            Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan dan pemeriksaan suatu peristiwa pidana korupsi, maka penyidik memberitahukan hal ini kepada penuntut umum. Dalam penghentian penyidikan dan pemeriksaan tersebut ada beberapa alasan yang sah, yaitu :
  1. Tidak terdapat cukup bukti, misalnya tidak adanya pengakuan, saksi, surat, atau benda-benda yang ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi.
  2. Peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana korupsi, misalnya hanya menyangkut persoalan perdata, melanggar norma agama, adat, dan lain-lain.
  3. Dihentikan demi hukum, misalnya telah lampau waktu (verjaring) kasus yang sama sudah pernah diadili dan mempunyai kekuatan hukum tetap (nebis in idem).
  4. Tidak ada pengaduan atau pengaduan dicabut dalam hal tindak pidana aduan.











BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
            Dari seluruh uraian materi dalam makalah ini, dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut :
Dari penjelasan Pasal 31 ayat 1 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ”pelapor” adalah orang yang memberi informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan bukan pelapor sebagaimana di maksud dalam Pasal 1 angka 24 UU No. 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana karena yang dimaksud  ”pelapor” dalam pasal 31 adalah dalam rangkaian penyelesaian suatu perkara tindak pidana korupsi, maka yang dimaksud dengan ”penegak hukum” dalam penjelasan Pasal 31 ayat 1 yaitu penyidik, penuntut umum dan hakim.
Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam upaya penyidikan dan pemeriksaan sidang pengadilan yaitu kejaksaan, hakim, saksi-saksi, orang lain dan pelapor.
”orang lain” yang dimaksud ialah orang yag tidak dijadikan sebagai saksi dalam perkara pidana korupsi, namun dapat memberikan keterangan guna penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
            Di dalam Pasal 31 UU No. 31 Tahun 1999, adanya sanksi pidana terhadap saksi yang melanggar ketentuan pasal tersebut, seperti yang terdapat dalam Pasal 24 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yaitu sebagai berikut :
a.       Pidana penjara palng lama 3 (tiga) tahun, dan atau
b.      Pidana denda paling banyak Rp. 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah)
            Kalau suatu tindak pidana korupsi telah timbul kepermukaan, artinya telah diketahui, tetapi tidak diteruskan kepengadilan, maka itu berarti bukan saja melumpuhkan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi (UUPTPK), tetapi juga dapat menurunkan tingkat kesadaran hukum dalam masyarakat dan juga dapat meningkatkan jumlah kejahatan tersembunyi (hidden crime) dalam suatu negara hukum.

Saran
            Supaya para koruptor ditangkap dan diadili dan supaya orang lain takut melakukan korupsi, penulis menghimbau agar para penegak hukum para aparatur negara dan juga komponen masyarakat (stock holder) yang ada, jika mengetahui adanya korupsi jangan mendiamkan, terlebih menutup-nutupi tetapi kita harus segera memprosesnya agar para pelaku pidana korupsi dapat diadili sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Dengan demikian dapat membantu upaya pencegahan pemberantasan tindak pidana korupsi dan membantu pengembalian keuangan negara yang telah dislah gunakan oelh para koruptor, yang telah merugikan keuangan dan perekonomian negara sehingga menghambat kelangsungan pembangunan nasional.



DAFTAR PUSTAKA

Darwan Perintis, SH. 1989. Hukum Acara Pidana. Jakarta : Jambatan
Hamzah Andi. 1986. Korupsi di Indonesia. Jakarta :Gramedia
Wiyono R, SH. 2008. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta : Sinar Grafika.