Sabtu, 14 Mei 2011

PELECEHAN SEKSUAL

Pendahuluan
Banyak sekali persangkaan-persangkaan yang tidak benar melingkupi perkara perkosaan. Salah satu diantaranya menyatakan bahwa pelaku perkosaan kebanyakan adalah orang yang tidak dikenal. Justru temuan di lapangan menunjukkan kebalikannya. Pelaku dan korban biasannya adalah saling kenal, atau bahkan memiliki hubungan yang intim. Pelaku biasanya adalah orang tua, saudara, paman, pacar atau tetangga. Indikasi yang lain menyatakan bahwa satu dari tiga kejadian perkosaan terjadi di dalam rumah, baik milik korban ataupun milik pelaku.
Kenyataan bahwa pelaku perkosaan adalah orang yang dikenal dan lebih sering terjadi di dalam rumah dan bahkan dilakukan oleh suami atau pasangan yang tinggal serumah tanpa nikah. Hal ini membawa kita kepada pembahasan tentang kekerasan domestik.
Adapun kekerasan domestik adalah kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang terjadi di dalam keluarga, termasuk pemukulan, pelanggaran seksual terhadap perempuan dalam rumah tangga, kekerasan yang berkaitan dengan mahar, pemerkosaan dalam perkawinan, pengrusakan alat vital perempuan dan praktek tradisional lainnya yang merugikan perempuan, serta kekerasan yang berkaitan dengan ekspliotasi.

Permasalahan
Hampir separuh dari sekitar 500.000 kasus perkosaan dan percobaan perkosaan yang dilaporkan yang dialami perempuan dari berbagai golongan umur, dilakukan oleh teman atau orang yang dikenal. Dan 80% hingga 95% perkosaan yang terjadi di universitas dilakukan oleh orang yang dikenal oleh korban.
Ditemukan bahwasanya pacar adalah salah satu status yang banyak melakukan perkosaan. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku berpacaran pun tidak hanya diisi dengan cerita-cerita roman, tetapi bahkan penuh dengan air mata dan menyedihkan, bukan hanya karena diputus pacar tetapi juga mengalami kekerasan oleh sang pacar.

Pengertian Konsep
Pelecehan seksual adalah ” ..bentuk perbuatannya sangat (subtil?), seperti mengedip-ngedipkan dan memelototkan mata pada seorang perempuan, mengomentari bentuk tubuhnya, menyiulinya, meraba, atau menciuminya, mulai dengan yang persuasif sampai dengan yang menggunakan kekerasan”.
Pengertian diatas dapat dibagi kedalam tingkat penggunaan kekerasan, dari yang ringan hingga paling keras, serta cara pelecehan seksual, dari verbal hingga penggunaan kekerasan.
Pelecehan seksual, terutama yang terjadi ditempat kerja biasanya diiringi dengan adanya penggunaan kewenangan, dalam hal ini atasan terhadap bawahan. Pemanfaatan kewenangan ini membuktikan bahwa tidak hanya penggunaan kekerasan secara fisik tetapi juga ancaman secara verbal, dengan memanfaatkan ketergantungan korban terhadap pelaku secara sosial maupun ekonomi.
Viktimisasi adalah suatu perbuatan yang dengan sengaja melawan hukum atau yang menurut hukum dapat menimbulkan penderitaan mental, fisik, dan sosial, pada seseorang atau sekelompok orang atau lembaga, oleh orang atau kelompok orang atau lembaga lain, baik untuk kepentingan sendiri maupun orang lain.
Jenis Penganiyaan dalam kekerasan domestik:
1. Physical Battering, yaitu segala bentuk penamparan, pemukulan, pembakaran, penendangan, penembakan, dan penikaman.
2. Sexual Battering, yaitu segala bentuk kekerasan terhadap alat-alat vital (oral, anal, dan genital) perempuan (istri), serta perkosaan dalam perkawinan.
3. Phsycological Battering, yaitu segal bentuk ancaman, perintah atau pemaksaan untuk melakukan atau menerima perlakuan seperti yang disebutkan dalam butir 1 dan 2., serta segala bentuk pendiskreditan.
4. Property Battering, yaitu segala bentuk penghancuran terhadap barang-barang milik perempuan (istri).
5. Penganiayaan Ekonomi, yaitu bentuk penguasaan terhadap semua sumber-sumber ekonomi keluarga, sehingga korban tidak dapat memiliki sumber daya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan menjadi tergantung kepada pelaku.
Korban adalah individu, kelompok atau lembaga, yang mengalami penderitaan atau kesakitan, baik secara fisik maupun mental, sebagai akibat dari tindakan individu, kelompok atau lembaga lain yang mencari pemenuhan kebutuhannya yang bertentangan dengan kepentingan dan hak-hak individu, kelompok atau lembaga yang mengalami penderitaan atau kesakitan tersebut.
Istilah korban juga meliputi keluarga langsung korban, orang-orang yang menderita akibat melakukan intervensi untuk membantu korban yang dalam kesulitan atau mencegah viktimisasi.
Kekerasan dalam pacaran (dating rape) adalah: adalah kekerasan atau ancaman melakukan kekerasan dari satu pasangan yang belum menikah terhadap pasanganannya yang lain dalam konteks berpacaran atau tunangan. Kekerasan ini termasuk didalamnya kekerasan seksual, kekerasan fisik dan emosional (terjemahan bebas).
Sexsual abuse, seperti menyentuh bagian intim yang tidak dikehendaki,memaksa dengan kekerasan untuk melakukan hubungan seksual, perkosaan dan percobaan perkosaan, melakukan hubungan seksual dengan orang yang sedang mabuk atau dalam pengaruh alkohol atau drug. Termasuk pula memaksa melakukan hubungan seksual tanpa alat pengaman (kondom) yang menyebabkan kekhawatiran akan terinfeksi HIV-AIDS.
Physical abuse, diantaranya perlakuan menampar, mencekik, menghantam, menendang, membakar, menjambak, menggunakan senjata, mengancam menggunakan senjata, dan membatasi seseorang
Emotional Abuse termasuk didalamnya menghina, mengutuk, meremehkan, mengancam, meneror, menghilangkan hak milik, mengasingkan dari keluarga dan teman, termasuk pula perilaku possessiveness seperti cemburu yang berlebihan. Dapat dikatakan bahwa perilaku ini berbentuk keinginan untuk mengendalikan korban dengan mengecilkan kepercayaan diri dan kemampuan untuk independent secara tingkah laku. Termasuk juga didalamnya memanggil dengan sebutan yang tidak disukai.
Berpacaran adalah bertunangan; berkasih-kasihan. Sedangkan definisi pacar adalah teman atau lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih.
Definisi berpacaran masih terlalu abstrak dan masih terlalu sulit untuk dijadikan pedoman. Bertunangan adalah bersepakat (biasanya diumumkan secara resmi atau dinyatakan di hadapan orang banyak) akan menjadi suami-istri. Definisi ini justru saling bertentangan. Biasanya pacaran tidak diumumkan secara terbuka kepada orang banyak.
Demikian pula perilaku berkasih-kasihan masih perlu penjelasan. Secara garis besar definisi menurut KBBI masih membutuhkan keterangan lebih lanjut. Definisi pacar sebagai adanya hubungan pertemanan antar lawan jenis yang tetap dan mempunyai landasan cinta kasih di luar pernikahan juga tidak mencakup hubungan antar sesama jenis. Di negara bagian Montana dan Vermont menyebut kata “partners” untuk mendeskripsikan hubungan baik antar lain jenis, maupun sesama jenis, dan memasukkan hubungan tersebut dalam definisi dating rape.
Untuk pedoman dalam penulisan makalah ini, maka definisi diatas ditambah dengan adanya hubungan antar sesama jenis.

Pacaran dan Kekerasan Seksual
Gejala perilaku pacaran sudah sangat umum dikalangan masyarakat Indonesia. Bahkan perilaku ini juga dilakukan oleh anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah menengah. Bisa diamati pula di berbagai media massa yang membidik pasaran anak usia sekolah menengah sebagai target pasar, banyak mengangkat tulisan mengenai hubungan antar lawan jenis yang mereka sebut sebagai pacaran.
Mungkin sebagian orang justru menjadi merasa malu ketika tidak punya pacar atau dikatakan “jomblo”. Kesadaran ini bisa menjadikan tradisi pacaran -jika dikatakan sebagai sebuah tradisi-, terus berkembang dan menjadi suatu gaya hidup baru bagi orang-orang yang belum beristri, atau yang sudah punya istri(selingkuh) .
Kekerasan dalam pacaran juga mengalami berbagai macam distorsi dengan pemahaman kita tentang hal-hal yang terjadi selama berpacaran. Sering kita mendengar pengakuan bahwa cemburu adalah bagian dari cinta, padahal sering kejadian kekerasan dimulai dari alasan ini. Pasangan menjadikan perasaan cemburu untuk mendapatkan legitimasi untuk melakukan hal-hal yang possessive dan tindakan mengontrol dan membatasi.
Pemukulan terhadap pasangan terutama perempuan biasanya disadari timbul karena adanya provokasi oleh korban. Pemukulan, entah diawali dengan adanya provokasi dari korban atau tidak tetap salah, dan hal tersebut tidak akan menyelesaikan masalah diantara pasangan tersebut.
Jika telah terjadi kekerasan, maka harus cepat dilakukan intervensi oleh orang luar karena cenderung akan menjadi lebih parah. Lebih baik lagi jika terjadi kekerasan segera laporkan kepada institusi yang mampu memeberikan solusi. Strategi untuk membiarkan pasangan kita berubah bukanlah tindakan yang dianjurkan, mereka lebih membutuhkan pertolongan untuk merubah perilaku mereka.
Penggunaan nama panggilan juga dianggap tidak menimbulkan perlukaan. Tetapi bagi sebagain orang memanggil dengan nama yang tidak disukai bisa mengakibatkan luka secara emosional yang permanen.
Pelaku yang berpotensi melakukan kekerasan juga tidak bisa dilihat dari tampak fisik luar, semua orang memiliki potensi menjadi pelaku kekerasan, entah dia yang berbadan besar dan berotot kuat atau seseorang yang kurus dan kelihatan lemah.
Keyakinan diri bahwa kekerasan tidak menimpa kepada kita juga sesuatu yang berlebihan, hal itu bisa terjadi pada siapa pun, kapan pun dan dimana pun.
Beberapa jenis kekerasan yang bisa dialami oleh perempuan dari pasangannya adalah:
Kekerasan Fisik
Memukul, menendang, menjambak rambut, mendorong sekuat tenaga, menampar, menonjok, mencekik, membakar bagian tubuh/menyundut dengan rokok, pemaksaan berhubungan seks, menggunakan alat, atau dengan sengaja mengajak seseorang ke tempat yang membahayakan keselamatan. Ini biasanya dilakukan karena korban tidak mau menuruti kemauannya atau korban dianggap telah melakukan kesalahan.

Kekerasan seksual
Berupa pemaksaan hubungan seksual, pelecehan seksual (rabaan, ciuman, sentuhan) tanpa persetujuan. Perbuatan tanpa persetujuan atau pemaksaan itu biasanya disertai ancaman akan ditinggalkan, akan menyengsarakan atau ancaman kekerasan fisik.


Kekerasan emosional
Bentuk kekerasan ini biasanya jarang disadari, karena memang wujudnya tidak kelihatan. Namun sebenarnya, kekerasan ini justru akan menimbulkan perasaan tertekan, tidak bebas dan tidak nyaman. Bentuk kekerasan non fisik ini berupa pemberian julukan yang mengandung olok-olok; membuat seseorang jadi bahan tertawaan; mengancam, cemburu yang berlebihan, membatasi pasangannya untuk melakukan kegiatan yang disukai, pemerasan, mengisolasi, larangan berteman, caci maki, larangan bersolek, larangan bersikap ramah pada orang lain dan sebagainya.

Karakteristik korban
1. Perempuan muda, berusia antara 12 hingga 18 tahun lebih sering menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh kenalan, teman, atau pacar dibandingkan perempuan yang lebih tua.
2. Perempuan yang memiliki teman (peer group) pernah menjadi korban kekerasan seksual lebih sering menjadi korban kekerasan dalam pacaran. Perempuan yang jarang pergi ke tempat ibadah, memiliki bekas pacar banyak, sering berpacaran, dan perempuan yang pernah mengalami kekerasan serupa sebelumnya memiliki kerentanan menjadi korban.

Karakteristik pelaku
1. Lelaki yang memiliki peer group dimana mereka mempunyai kecenderungan seksual yang agresif, pemabuk dan pengkonsumsi narkoba, lelaki yang mudah berpacaran, lelaki yang terlalu mengambil peran ketika berpacaran (termasuk selalu menjadi sopir), banyak mengeluarkan uang, memiliki pemahaman yang salah tentang seks, pernah melakukan hubungan seksual dengan korban, memiliki perilaku kekerasan terhadap orang lain, pemahaman hubungan lelaki perempuan yang tidak sejajar, dan lelaki yang memiliki ansumsi tentang perkosaan yang keliru. Lelaki yang sering lepas kendali emosionalnya dengan memukul meja, dinding atau perabotan rumah, lelaki yang terlalu possessive dengan selalu menelpon untuk menanyakan sedang berada dimana dengan siapa dan melakukan apa, memiliki pandangan tradisional tentang hubungan lelaki perempuan, termasuk lelaki yang selalu berjanji tidak akan melakukan kekerasa lagi dengan berperilaku manis.
2. Lelaki yang memiliki pengalaman kekerasan dalam keluarganya, baik dia sebagai korban langsung maupun orang lain dalam keluarganya.
3. Pengkonsumsian alkohol baik yang dilakukan oleh pelaku maupun korban berbanding searah dengan perlukaan yang diakibat kekerasan.

Kesimpulan
Perbuatan asusila yang dilakukan oleh lelaki terhadap perempuan lebih dikarenakan pengharapan seksual yang diinginkan oleh lelaki dari hubungan yang dijalankan. Perbuatan asusila tersebut diakibatkan oleh berbagai faktor, yaitu lelaki dimana mereka mempunyai kecenderungan seksual yang agresif, pemabuk dan pengkonsumsi narkoba, lelaki yang mudah berpacaran, banyak mengeluarkan uang, memiliki pemahaman yang salah tentang seks, pernah melakukan hubungan seksual dengan korban, memiliki perilaku kekerasan terhadap orang lain, pemahaman hubungan lelaki perempuan yang tidak sejajar, dan lelaki yang memiliki ansumsi tentang perkosaan yang keliru. Lelaki yang sering lepas kendali emosionalnya dengan memukul meja, dinding atau perabotan rumah, lelaki yang terlalu possessive dengan selalu menelpon untuk menanyakan sedang berada dimana dengan siapa dan melakukan apa, memiliki pandangan tradisional tentang hubungan lelaki perempuan, termasuk lelaki yang selalu berjanji tidak akan melakukan kekerasa lagi.


Daftar Pustaka
----------. 1978/1979. Kamus Istilah Sosiologi. Jakarta: Departemen sosiologi FIS-UI. Hal 103. Disadur dari Santi Kusumaningrum. Op.cit. Hal. 33.
“KDRT, Kejahatan yang Tidak Terlaporkan”, dalam Info aktual Swara. Edisi No. 29, 19 Agustus 1999. disadur dari Santi Kusumaningrum. Ibid..
“Siapa Bilang dalam pacaran tidak ada kekerasan”. Lembar info, seri 23. Dapat dilihat di http://www.lbh-apik.or.id/fac-no.23.htm
http://www.hc-sc.gc.ca/hppb/familyviolence/html/datingeng.html
----------. Arif Gosita. 1985. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta: Akademika Pressindo. Hal. 44. Disadur dari Santi Kusumaningrum.
----------. KBBI. Edisi Kedua. Cetakan Ke-7 1996. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta; Balai Pustaka. Hal. 711.